MAKALAH USHUL FIQIH
Am dan Khos Beserta Permasalahannya
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Ushul Fiqh
Dosen : Suherman
Disusun Oleh:
Susanto
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT)
AL-KHAIRIYAH CITANGKIL-CILEGON
2008-2009
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Empat belas abad yang lalu Nabi Muhammad SAW di utus di muka bumi ini sebagai Rasul umat manusia seluruhnya. Dan pada beliau juga Al-Qurโan diturunkan di muka bumi ini sebagai rahmatan lil โalamin. Lantas, kita sebagai orang yang mengimani Al-Qurโan tentu harus mengamalkan apa yang diperintahkan dalam Al-Qurโan dan menjauhi apa yang dilarangnya. Namun seiring berjalannya waktu, para ulama yang sebagai pewaris nabi pun banyak berbeda pendapat tentang pemahaman isi Al-Qurโan dan Hadis Nabi. Salah satu yang diperdebatkan di kalangan ulama itu adalah tentang masalah โAmm dan Khash.
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mempelajari tentang โAmm dan Khash
2. Mendapatkan pemahaman tentang โAmm dan Khash
3. Untuk memenuhi tugas Ushul Fiqh
C. Rumusan Masalah
1.
2.
3.
D. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dalam penyusunan makalah ini adalah:
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Tujuan Penulisan
C. Rumusan Masalah
D. Sistematika Penulisan
BAB II : โAMM DAN KHOS SERTA PERMASALAHANNYA
A. Pengertian
1. Pengertian โAmm
2. Pengertian Khash
B.
C.
D.
BAB III : PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
PEMBAHASAN
โAMM DAN KHOS SERTA PERMASALAHANNYA
A. Pengertian
1. Pengertian โAmm
a. Menurut Bahasa (Etimologi)
โAmm menurut bahasa bahasa adalah : ุดูู
ููููู ุฃูู
ูุฑู ููู
ูุชูุนูุฏููุฏู artinya : Mencakup sesuatu yang berbilang-bilang (tidak terbatas).
b. Menurut Istilah (Terminologi)
Sedangkan โAmm menurut istilah adalah :
ุงููููููุธู ุงููู
ูุณูุชูุบูุฑููู ููุฌูู
ูููุนู ู
ูุง ููุตูููุญู ูููู ุจูุญูุณูุจู ููุถูุนู ููุงุญูุฏู ุฏูููุนูุฉู.
Artinya : Lafazh yang mencakup semua yang cocok untuk lafazh tersebut dengan satu kata sekaligus. Contohnya kata ุงูุฑููุฌูุงูู yang berarti kaum laki-laki. Maka semua laki-laki di dunia ini masuk dalam kata ุงูุฑููุฌูุงูู . Sebagai contoh firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat: 34 yang menerangkan tentang kedudukan kaum laki-laki atas kaum perempuan:
๏ญ ๏ญ ๏ญ ๏ญ ๏ญ ๏ญ ๏ญ ๏ญ ๏ญ ๏ญ ๏ญฝ ุงููุณุงุก: ูฃูค
โKaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita).โ
(Q.S.Annisa: 34)
Yang dimaksud laki-laki di sini bukan hanya laki-laki Arab atau laki-laki yang beragama islam saja, tapi semua laki-laki yang ada di muka bumi ini.
c. Menurut para ulama
Para ulama Ushul Fiqh memberikan definisi/pengertian โAmm yang berbeda-beda, akan tetapi pada hakekatnya definisi tersebut mempunya pengertian yang sama. Para ulama itu antara lain sebagai berikut:
1) Menurut Ulama Hanafiyah:
ููููู ููููุธู ููููุชูุธูู
ู ุฌูู
ูุนูุง ุณูููุงุกู ุฃูููุงูู ุจูุงููููููุธู ุฃููู ุจูุงููู
ูุนูููู.
โSetiap lafazh yang mencakup banyak, baik secara lafazh maupun makna.โ
2) Menurut ulama Syafiโiyah, diantaranya Al-Ghazali:
ุงููููููุธู ุงููููุงุญูุฏู ุงูุฏููุงูู ู
ููู ุฌูููุฉู ููุงุญูุฏูุฉู ุนูููู ุดูููุฆููููู ููุตูุงุนูุฏูุง.
โSatu lafazh yang dari satu segi menunjukan dua makna atau lebih.โ
3) Menurut Al-Bazdawi:
ุงููููููุธู ุงููู
ูุณูุชูุบูุฑููู ุฌูู
ูููุนู ู
ูุง ููุตูููุญู ูููู ุจูููุถูุนู ููุงุญูุฏู.
โLafazh yang mencangkup semua yang cocok untuk lafazh tersebut dengan satu kata.โ
2. Pengertian Khash
Para ulama Ushul berbeda pendapat dalam memberikan definisi khash. Namun, pada hakekatnya definisi tersebut mempunyai pengertian yang sama. Definisi yang dapat dikemukakan di sini antara lain:
ูู ุงููููููุธู ุงููู
ูููุถูููุนู ููู
ูุนูููู ููุงุญูุฏู ู
ูุนูููููู
ู ุนูููู ุงููุงูููููุฑูุงุฏู.
โSuatu lafazh yang dipasangkan pada satu arti yang sudah diketahui dan manunggal.โ
Sedangkan menurut Al-Bazdawi, definisi Khash adalah:
ูููู ูููููุธู ููุถูุนู ููู
ูุนูููู ููุงุญูุฏู ุนูููู ุงููุงูููููุฑูุงุฏู ููุงููููุทูุงุนู ุงููู
ูุดูุงุฑูููุฉู.
โSetiap lafazh yang dipaksakan pada satu arti yang menyendiri, dan terhindar dari makna lain yang (musytarak).โ
Dengan definisi di atas, ia akan mengeluarkan lafazh mutlaq dan musytarak dari bagian lafazh khash, dan bukan pula bagian dari lafazh โam. Pendapat ini dipegang pula oleh sebagian ulama Syafiโiyah.
Cara penunjukan lafazh atas satu arti ini bisa dalam berbagai bentuk, yaitu bentuk genius, seperti lafazh insanun dipasangkan pada hewan yang berpikir, atau berbentuk spesies (nauโun), seperti kata laki-laki dan wanita, atau berbentuk individual yang berbeda-beda tetapi terbatas, seperti bilangan angka-angka (3, 5, 100, dan seterusnya).
B. Pembahasan โAmm
a. Dilalah lafazh โAmm
Para ulama sepakat bahwa lafazh โamm yang disertai qarinah (indikasi) yang menunjukan penolakan adanya takhsis adalah qathโi dilalah. Mereka pun sepakat bahwa yang dimaksudnya itu khusus, mempunyai dilalah yang khusus pula. Yang menjadi perdebatan pendapat di sini ialah lafazh โamm yang muthlaq tanpa disertai suatu qarinah yang menolak kemungkinan adanya takhsis, atau tetap berlaku umum mencakup satuan-satuannya.
Menurut Hanafiah dilalah โamm itu qathโi, yang dimaksud qathโi menurut Hanafiyah ialah:
ูุงู ููุญูุชูู
ููู ุงูุญูุชูู
ูุงูุงู ููุงุดูุฆูุง ุนููู ุฏููููููู.
โTidak mencakup suatu kandungan yang menimbulkan suatu dalil.โ
Namun, bukan berarti tidak ada kemungkinan takhsis sama sekali. Oleh karena itu, untuk menetapkan ke-qathi-an lafazh โamm, pada mulanya tidak boleh di-takhsis sebab apabila pada awalnya sudah dimasuki takhsis, maka dilalah-nya zhanni.
Mereka beralasan, sesungguhnya suatu lafazh apabila dipasangkan (di-wadhakan-kan) pada suatu makna, maka makna itu berketetapan yang pasti, sampai ada dalil yang mengubahnya, lebih tegas lagi mereka mengatakan:
ุงูููู ููููุธู ุงููุนูุงู
ู ู
ูููุถูููุนู ุญูููููููุฉู ูุงูุณูุชูุบูุฑูุงูู ุฌูู
ูููุนู ู
ูุง ููุตูุฏููู ุนููููููู ู
ูุนูููุงูู ู
ููู ุงููุฃูููุฑูุงุฏู ููุงููููููุธู ุญููููู ุงูุทููุงููููู ููุฏูููู ุนูููู ู
ูุนูููุงูู ุงููุญูููููููููู ููุทูุนูุง, ููุงููุนูุงู
ู ุงููู
ูุทููููู ุนููู ููุฑูููููุฉู ุชูุฎูุตููุตููู ููุฏูููู ุนูููู ุงููุนูู
ูููู
ู ููุทูุนูุง ูููุงู ููููุตูุฑููู ุนููู ู
ูุนูููุงูู ุงููุญูููููููููู ุงููุงูู ุจูุฏููููููู.
โSesungguhnya lafazh โamm merupakan suatu hakikat, karena kosong dari segala yang menunjukan satu (makna khusus). Dan suatu lafazh, jika dalam keadaan mutlak. Begitu pula lafazh โamm yang mutlak dari suatu indikasi tentang kekhususannya menunjukkan pada makna umum, dan tidaklah berubah dari maknanya yang hakiki, kecuali dengan dalil.โ
Menurut Jumhur Ulama, (Maliki, Syafiโiyyah, dan Hanabilah), dilalah โamm adalah zhanni. Mereka beralasan, dilalah โamm itu termasuk bagian dilalah zahir, yang mempunyai kemungkinan di-takhsis. Dan kemungkinan ini pada lafazh โamm banyak sekali. Selama kemungkinan tetap ada, maka tidak dapat dibenarkan menyatakan bahwa dilalah-nya qathโi. sehubungan dengan hal itu, Ibnu Abbas berkata:
ููููุณู ููู ุงููููุฑูุขูู ุนูุงู
ู ุงููุงูู ููุฎูุตููุตู ุงููุงูู ูููููููู ุชูุนูุงููู : ููุงููู ูุจูููููู ุดูููุกู ุนูููููู
ู
โDalam Al-Qurโan semua lafazh umum itu ada takhsisnya, kecuali firman Allah SWT., โDan Hanya Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu.โ
Oleh karena itu, mereka mengeluarkan suatu kaidah yang berbunyi:
ู
ูุง ู
ููู ุนูุงู
ู ุงููุงูู ููููุฏู ุฎูุตููุตู.
โTidaklah ada (lafazh) yang umum keculi sudah ditakhsis.โ
Ulama Hanafiyah membantah alasan Jumhur, โKemungkinan itu tidak dapat dibenarkan, sebab timbulnya dari ucapan pembicara (mutakallimin), bukan dari dalil.โ
Dari kedua sikap ulama tersebut, timbul masalah lain yang menjadi prinsip bagi mereka masing-masing. Masalah ini mempunyai dampak yang sangat besar pada perbedaan pendapat di antara mereka dalam beberapa masalah, yaitu antara lain:
a. Apakah boleh lafazh โamm yang qathโI tersebut di-takhsis oleh dalil zhanni?
b. Apabila ada suatu nash yang menggunakan lafazh โamm di suatu tempat dan di tempat lain menggunakan lafazh khash, yang satu sama lainnya saling bertentangan. Apakah hal ini bisa dikatakan sebagai taโarrud (saling bertentangan)?
Pada masalah pertama, menurut Asy-Syafiโiah dan Ahmad, apabila bertentangan antara lafazh khash yang terdapat pada khabar ahad dengan lafazh โamm Al-Qurโan, maka khabar ahad itu dapat men-takhsis lafazh โAmm Al-Qurโan. Sekalipun lafazh โamm Al-Qurโan itu qathโi subut-nya, dilalah-nya zhanni. Sebaliknya, khash khabar ahad sungguhpun zhanni subut-nya, tetapi qathโi dilalah-nya. Menurut pendapat ini, As-Sunah dipandang sebagai penjelasan terhadap Al-Qurโan, walaupun khabar ahad.
Menurut Hanafiyah khabar ahad tidak dapat men-takhsis Al-Qurโan kecuali lafazh โamm Al-Qurโan itu sebelumnya telah terkena taksis. Mereka memandang bahwa dilalah โamm itu qathโi, seperti yang telah diuraikan di muka, dan takhsis bukanlah merupakan suatu penjelasan, melainkan pembatasan pemakaian sebagian satuan lafazh โamm. Mereka menetapkan bahwa pada lafazh โamm itu, kehendak makna umumnya jelas, tegas dan tidak memerlukan penjelasan. Oleh sebab itu, Hanafiyah tidak mewajibkan tertib dalam berwudhu, karena ayat mengenai wudhu, yaitu surat Al-Maidah ayat 6 sudah cukup jelas dan tegas tidak memerintahkan tertibnya berwudhu. Sedangkan Jumhur ulama mewajibkan tertib dalam berwudhu karena berdasar hadis yang berbunyi:
ูุงู ููููุจููู ุงููู ูุตููุงูุฉู ุงู
ูุฑูุฆู ุญูุชููู ููุถูุนู ุงูุทููููููุฑู ู
ูููุงุถูุนููู ููููููุบูุณููู ููุฌููููู ุซูู
ูู ููุฏููููู.
โAllah tidak menerima shalat seseorang sehingga ia bersuci sesuai tempatnya (tertib pelaksanaannya), maka hendaklah ia membasuh wajahnya kemudian dua tangannya.โ
Hadis ini menunjukkan keharusan tertib dalam berwudhu. Hanafiyah memandang tertib itu hanya sunah muโakkadah saja (Abu Zahrah: 159)
Lain halnya Imam Malik, sungguhpun memandang bahwa lafazh โamm Al-Qurโan adalah zhanni, ia tidak selamanya menjadikan khabar Ahad dapat men-takhsis lafazh โamm Al-Qurโan. Ia kadang-kadang berpegang pada lafazh โamm Al-Qurโan dan meninggalkan khabar ahad, namun kadang-kadang men-takhsis lafazh โamm Al-Qurโan dengan khabar ahad.
Misalnya firman Allah SWT.:
ููุงูุญูููู ููููู
ู ู
ูุง ููุฑูุงุกู ุฐูุงูููู.
โDan Allah menghalalkan (menikah) selain itu (yang telah disebutkan).โ
Ditakhsis dengan hadis:
ูุงู ุชูููููุญู ุงููู
ูุฑูุฃูุฉู ุนูููู ุนูู
ููุชูููุง ูููุงู ุฎูุงููุชูููุง.
โWanita yang dilarang dinikahi adalah bibinya, baik dari pihak ayah maupun ibu.โ
Menurut Imam Malik, khabar ahad yang dapat men-takhsis lafazh โamm Al-Qurโan ialah khabar ahad yang didukung oleh perbuatan penduduk Madinah atau dengan qiyas.
Diantara masalah furuโ yang diperselisihkan akibat perbedaan prinsip di atas ialah halal tidaknya memakan binatang hasil sembelihan tanpa memakai bismillah.
Menurut Hanafiyah sembelihan tanpa disertai dengna ucapan bismillah tidak halal dimakan, mereka berpegang pada ayat:
๏ฎ ๏ฎ ๏ฎ ๏ฎ ๏ฎ ๏ฎ
๏ฎ ๏ฎ ๏ฎ ๏ฎ๏ฎ ๏ฎ ุงูุฃูุนุงู
: ูกูขูก
โDan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.โ
Mereka tidak mau men-takhsis-nya dengah hadis Rasul yang berbunyi:
ุงููู
ูุณูููู
ู ููุฐูุจูุญู ุนูููู ุงุณูู
ู ุง ูููู ุณูู
ูููู ุงููู ููู
ู ููุณูู
ูู. ( ุฑูุงู ุงุจูุฏุงูุฏ )
โSeorang muslim menyembelih dengan menyebut bismillah, sebutlah (ucapkanlah bismillah) atau tidak.โ (H.R. Abu Dawud)
Sebab hadis ini zhanni wurudnya sekalipun qathโi dilalahnya.
Adapun maslah yang kedua, yaitu: taโarudul al-โam wa al-khash (pertentangan antara โamm dan khash). Menurut Hanafiyah, apabila lafazh โamm dan khash itu berbarengan waktu turunnya, maka lafazh khash dapat mentakhsis lafazh โamm. Dan apabila berbeda waktu, maka berlaku konsep nasakh dan mansukh.
Menurut Jumhur, hal tersebut tidak bisa dikatakan taโarud, sebab fungsi lafazh khash di sini sebagai penjelasan terhadap โamm, seperti nisab zakat hasil bumi. Menurut Jumhur ulama, nisab zakat hasil bumi adalah lima ausaq, berdasarkan atas hadis:
ููููุณู ููููู
ูุง ุฏููููู ุฎูู
ูุณูุฉู ุงูููุณููู ุตูุฏูููุฉู. ( ุฑูุงู ุงูุจุฎุงุฑู ูู
ุณูู
)
โTidak ada zakat bagi yang kurang dari lima ausaq.โ (H.R.Bukhari dan Muslim)
Hadis ini dijadikan pentaksis terhadap hadis:
ููููู
ูุง ุณูููุชู ุงูุณููู
ูุงุกู ููุงููุนููููููู ุงููู ููุงูู ุนูุซูุฑููููุง ุงููุนูุดูุฑู ููููู
ูุง ุณูููู ุจูุงููููุตูุฎู ููุตููู ุงููุนูุดูุฑู.
( ุฑูุงู ุงูุจุฎุงุฑู ูุงุตุญุงุจ ุงูุณูู )
โZakat hasil bumi yang diari sumber air atau air hujan adalah 10%, sedangkan zakat yang diari irigasi adalah 5%.
(H.R.Al-Bukhari dan Ashhabu Sunan)
Menurut Hanafiyah, zakat hasil bumi diwajibkan tanpa harus ada nisab, baik sedikit ataupun banyak, tetap wajib dizakati. Mereka berpegang pada hadis yang kedua yang bersifat โamm. Sedangkan pada hadis yang khusus, yaitu hadis pertama, mereka menakwilkannya, dan menyatakan bahwa hadis tersebut berlaku pada zakat perdagangan. Mereka berpendapat bahwa lima ausaq itu senilai dengan dua ratus dirham.
C. Pembahasan Khash
1. Hukum Lafazh Khash
Lafazh yang terdapat pada nash syaraโ menunjukan satu makna tertentu dengan pasti selama tidak ada dalil yang mengubah maknanya itu. Dengan demikian, apabila ada suatu kemungkinan arti lain yang tidak berdasar pada dalil, maka ke-qathโ-ian dilalah-nya tidak terpengaruhi.
Oleh karena itu, apabila lafazh khash dikemukakan dalam bentuk mutlaq, tanpa batasan apapun, maka lafazh itu memberi faedah ketetapan hukum secara mutlaq, selama tidak ada dalil yang membatasinya. Dan bila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk perintah, maka ia memberikan faedah berupa hukum wajib bagi yang diperintahkan (maโmur bih), selama tidak ada dalil yang memalingkannya pada makna yang lain. Demikian juga apabila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk larangan (nahy), ia memberikan faedah berupa hukum haram terhadap hal yang dilarang itu, selama tidak ada qarinah (indikasi) yang memalingkannya dari hal itu.
Atas dasar itu, maka kata salasatin pada firman Allah SWT yang berbunyi:
๏ฐ ๏ฐ ๏ฐ
๏ฐ ๏ฐ ๏ฐ ๏ฐฃ ุงูุจูุฑุฉ: ูกูฉูฆ
Mengandung pengertian khash, yang tidak mungkin mengandung arti kurang atau lebih makna yang dikehendaki oleh lafazh itu sendiri, yaitu tiga. Oleh karena itu, dilalah makna-nya adalah qatiyah.
Demikian juga kata nisfu pada firman Allah yang berbunyi:
ููููููู
ู ููุตููู ู
ูุง ุชูุฑููู....
Mengandung arti khash yang kandungannya tidak mungkin berarti selain arti tertentu yang ditunjukan lafazh-nya itu sendiri, yaitu setengah.
Kedua contoh di atas, termasuk lafazh-lafazh khash, sehingga kehujjahannya terdapat pada arti yang diperuntukkan baginya yang bersifat qathโiyah, karena tidak ada dalil yang memalingkan dari masalah haqiqi-nya. Selain itu juga lafazh nar dalam firman Allah SWT. Yang berbunyi:
ููุง ููุงุฑูููููููู ุจูุฑูุฏูุง ููุณููุงูู
ูุง...
Adalah lafazh khash yang sudah dikenal yang berarti api (an-nar) yang sebenarnya, dan mengandaikan bahwa makna yang dimaksud bukanlah makna itu, tanpa adanya dalil, maka yang demikian itu tidak berpengaruh sedikitpun terhadap ke-qathโi-an makna yang termasuk dalam lafazh tersebut.
Terhadap kemungkinan adanya takwil dalam lafazh khash, para pengikut mazhab Hanafi telah memalingkan arti lafazh khash tersebut dari maknanya yang hakiki dalam beberapa nash karena adanya qarinah yang mengharuskan pemalingan artinya yang hakiki, dan karena adanya maksud untuk memberi makna yang lain melalui maksud yang terkandung dalam dalil tersebut. Lafazh syat, dalam sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:
ููู ููููู ุฃูุฑูุจูุนููููู ุดูุงุฉู ุดูุงุฉู.
Merupakan lafazh khash. Para ulama Hanafiyah menakwilkannya dengan arti yang lebih umum yang mencakup arti syat itu sendiri berikut harganya.
Berdasarkan itu, maka hadis tersebut memberikan arti khusus dalam menentukan nishab yang dikenai zakat dari empat puluh kambing, yaitu satu ekor kambing, tidak kurang dan tidak lebih.
2. Perbedaan Pendapat Akibat Keqathโian Dilalah Khash
Para ulama sepakat bahwa dilalah lafazh khash adalah qathโi. namun, mereka berbeda pendapat dalam sifat ke-qathโi-annya itu, apakah lafazh khash yang dipandang qathโi dilalah-nya itu sudah jelas dengan sendirinya, sehingga tidak mempunyai kemungkinan penjelasan lain atau perubahan makna, ataukah sekalipun lafazh khash itu qathโi dilalah-nya, tetapi kemungkinan mempunyai perubahan dan penjelasan yang lain.
Golongan Hanafiyah mengambil pendapat pertama. Mereka menyatakan, โSesungguhnya lafazh khash sepanjang telah memiliki arti secara tersendiri, berarti ia sudah jelas dan tegas dengan ketentuan lafazh-lafazh itu sendiri. Seandainya lafazh itu masih mempunyai kemungkinan perubahan dengan penjelasan yang lain, pasti keadaan penjelasannya itu menetapkan yang sudah tetap atau menolak yang sudah tertolak. Sedangkan keduanya ini tidak bisa diterima.
Dari sikapnya ini dapat ditarik kesimpulan pokok, yaitu:
a. Mereka menetapkan bahwa lafazh khash itu tidak memerlukan penjelasan lain, sehingga dalam mengambil hukum dari satu dilalah khash, mereka tidak mengambil hadis-hadis yang berhubungan dengan penjelasannya. Karena menurut mereka, dilalah khasas itu tidak memerlukan penjelasan lain.
b. Karena mereka menyatakan bahwa lafazh khash Al-Qurโan itu qathโi dilalah-nya dan tidak memerlukan penjelasan (bayan), maka setiap perubahan hukum dengan nash yang lain dipandang sebagai penghapusan hukum, bukan penjelasan. Oleh sebab itu, nasikh (penghapus hukum) harus sama kekuatan dilalah-nya dengan nash yang dihapus dilalah-nya (mansukh).
Dengan demikian, apabila tidak sama kekuatan dilalahnya, maka tidak bisa diterima. Konsekuensinya lafazh khash yang qathโi itu tidak bisa dihapus (dinasakh) dengan hadis ahad.
Golongan Jumhur ulama, antara lain Safiโiyyah dan Malikiyyah mengambil pendapat yang menyatakan bahwa sekalipun lafazh khash itu dilalahnya qathโi. namun tetap mempunyai kemungkinan perubahan makna soal wadha-nya (asal pemasangannya), sehingga apabila terdapat nash yang mengubah dilalahnya khash itu. Dari sikap ini terdapat dua kesimpulan yang berbeda dengan pendapat pertama, yaitu:
a. Nash Khash menerima penjelasan dan perubahan
b. Lafazh khash Al-Qurโan menurut pandangannya tetap menerima penjelasan dan perubahan. Maka ia pandang sebagai lafazh mujmal. Oleh sebab itu, lafazh khash mungkin saja berubah melalui penjelasan. Sungguhpun penjelasan itu kekuatan dilalahnya dari segi tsabut lebih rendah dari kekuatan khash itu sendiri, seperti hadis ahad.
Perbedaan pendapat para ulama tentang kedudukan dilalah khash tersebut berpengaruh terhadap beberapa masalah fiqih, misalnya, pengertian rukuโ pada ayat:
ููุงุฑูููุนูููุง ู
ูุนู ุงูุฑููุงููุนููููู.
โRukuklah bersama orang-orang yang ruku.โ
Ulama Hanafiyah memandang bahwa rukuโ dalam shalat itu sebagaimana lafazh khash untuk suatu perbuatan yang maโlum; yaitu condong dan berdiri tegak. Mereka menyatakan sesungguhnya rukuโ yang diperintahkan pada ayat itu dan merupakan bagian fardu shalat adalah condong dan berdiri tegak tanpa tumaโninah.
Adapun hadis yang memerintahkan keharusan tumaโninah adalah:
ููู
ู ููุตูููู ููุฃูููููู ููู
ู ุชูุตูููู.
โBerdirilah dan shalatlah karena engkau belum shalat.โ
Tumaโninah itu bukan syarat sah shalat. Menurut mereka, seandainya tumaโninah itu syarat sah shalat, berarti merupakan penambahan atas lafazh khash Al-Qurโan yang jelas. Dengan sendirinya, hal itu termasuk penambahan khabar ahad. Dan berarti sebagai nasakh, sedangkan nasikh (penghapus) harus sama kekuatan dilalahnya dari segi wurud dengan mansukh-nya. Padahal hadis ahad tersebut tidak sama dengan kekuatan khash Al-Qurโan yang qathโi, sehingga mereka tidak mensyaratkan tumaโninah sebagai syarat rukuโ. Dengan kata lain, mereka tidak menjadikan tumaโninah sebagai fardu. Tegasnya, yang fardu itu rukuknya, bukan tumaโninahnya.
Golongan Syafiโiyah memandang bahwa lafazh khash itu mempunyai kemungkinan adanya penjelasan atau perubahan, maka dari segi ini mereka memandang lafazh khash itu sebagai lafazh mujmal. Oleh sebab itu mereka menerima kemungkinan adanya penambahan atas lafazh khash yang terdapat dalam Al-Qurโan dengan hadis ahad yang merupakan penjelasannya. Maka menurut golongan ini, tumaโninah yang diisyaratkan oleh hadis tersebut merupakan penjelasan terhadap ayat Al-Qurโan dan termasuk fardu dalam rukuโ.
3. Macam-Macam Lafadz Khas
Lafazh Khash itu bentuknya banyak, sesuai dengan keadaan dan sifat yang dipakai pada lafazh itu sendiri. Ia kadang-kadang berbentuk muthlaq tanpa dibatasi oleh suatu syarat atau qayyid apapun, kadang-kadang berbentuk muqayyad, yakni dibatasi oleh qayyid, kadang-kadang berbentuk amr (perintah), dan kadang-kadang berbentuk nahy (larangan). Dengan demikian, macam-macam lafazh khash mencakup: muthlaq, muqayyad, amr, dan nahyi.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Mesir : Darul Qutiah, 1968.
Rachmat SyafeโI, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung : Pustaka Setia, 2007.
Abdul Hamid Hakim, Al-Bayan fi Ilmi Ushulul Fiqh Muqarrar lishoffi Ar-Rabiโ KMI, Gontor: Darussalam Press, tanpa tahun.
Abdul Hamid Hakim, Al-Bayan fi Ilmi Ushulul Fiqh Muqarrar lishoffi Al-Khomis KMI, Gontor: Darussalam Press, tanpa tahun.
Abdul Hamid Hakim, Mabadiโ Awwaliyyah fi Ushul Fiqh wal Qawaidul Fiqhiyyah, Jakarta : Maktabah Saโdiah Putra, tanpa tahun.
Selasa, 06 April 2010
am dan khos beserta permasalahannya
Next
ยซ Prev Post
ยซ Prev Post
Previous
Next Post ยป
Next Post ยป
3 komentar
Write komentarkayfaa haalukum al-akh...
Replywwahhh mkasih yaa ilmu nya....brmnfaat niehh
izin copas
ReplyDalam metode istinbat Apakah khas dapat membatasi am? Apa contohnya
Reply