Bagaimanakah
Perjalanan Kurikulum Nasional
(Pada
Pendidikan Dasar dan Menengah)?
Oleh : R. Bambang A. Soekisno
Selayang Pandang Perjalanan
Kurikulum Nasional
Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945,
kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947,
1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, dan direncanakan pada tahun 2004. Perubahan
tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik,
sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara.
Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan
secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat.
Semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu
Pancasila dan UUD 1945, perbedaanya pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan
serta pendekatan dalam merealisasikannya.
a.
Kurikulum 1968 dan sebelumnya
- Awalnya pada tahun 1947, kurikulum saat itu diberi nama Rentjana Pelajaran 1947. Pada saat itu, kurikulum pendidikan di Indonesia masih dipengaruhi sistem pendidikan kolonial Belanda dan Jepang, sehingga hanya meneruskan yang pernah digunakan sebelumnya. Rentjana Pelajaran 1947 boleh dikatakan sebagai pengganti sistem pendidikan kolonial Belanda. Karena suasana kehidupan berbangsa saat itu masih dalam semangat juang merebut kemerdekaan maka pendidikan sebagai development conformism lebih menekankan pada pembentukan karakter manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain di muka bumi ini.
Setelah Rentjana Pelajaran 1947,
pada tahun 1952 kurikulum di Indonesia mengalami penyempurnaan. Pada tahun 1952
ini diberi nama Rentjana Pelajaran Terurai 1952. Kurikulum ini sudah
mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Yang paling menonjol dan sekaligus
ciri dari kurikulum 1952 ini bahwa setiap rencana pelajaran harus memperhatikan
isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.
Usai tahun 1952, menjelang tahun 1964,
pemerintah kembali menyempurnakan sistem kurikulum di Indonesia. Kali ini
diberi nama Rentjana Pendidikan 1964. Pokok-pokok pikiran kurikulum
1964 yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah bahwa pemerintah mempunyai
keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada
jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana
(Hamalik, 2004), yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan,
dan jasmani.
Kurikulum 1968 merupakan pembaharuan dari
Kurikulum 1964, yaitu dilakukannya perubahan struktur kurikulum pendidikan dari
Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan
kecakapan khusus. Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi
pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Dari segi tujuan pendidikan, Kurikulum
1968 bertujuan bahwa pendidikan ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia
Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan
keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Isi
pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan,
serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat.
b. Kurikulum
1975
Kurikulum 1975 sebagai pengganti kurikulum
1968 menggunakan pendekatan-pendekatan di antaranya sebagai berikut.
Berorientasi pada tujuan
Menganut pendekatan integrative
dalam arti bahwa setiap pelajaran memiliki arti dan peranan yang menunjang
kepada tercapainya tujuan-tujuan yang lebih integratif.
Menekankan kepada efisiensi dan
efektivitas dalam hal daya dan waktu.
Menganut pendekatan sistem
instruksional yang dikenal dengan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional
(PPSI). Sistem yang senantiasa mengarah kepada tercapainya tujuan yang
spesifik, dapat diukur dan dirumuskan dalam bentuk tingkah laku siswa.
Dipengaruhi psikologi tingkah laku
dengan menekankan kepada stimulus respon (rangsang-jawab) dan latihan (drill).
Kurikulum 1975 hingga menjelang tahun 1983
dianggap sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan masyarakat dan tuntutan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Bahkan sidang umum MPR 1983 yang produknya tertuang
dalam GBHN 1983 menyiratakan keputusan politik yang menghendaki perubahan
kurikulum dari kurikulum 1975 ke kurikulum 1984. Karena itulah pada tahun 1984
pemerintah menetapkan pergantian kurikulum 1975 oleh kurikulum 1984.
c. Kurikulum
1984
Secara umum dasar perubahan kurikulum 1975
ke kurikulum 1984 di antaranya adalah sebagai berikut.
Terdapat beberapa unsur dalam GBHN
1983 yang belum tertampung ke dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah
Terdapat ketidakserasian antara
materi kurikulum berbagai bidang studi dengan kemampuan anak didik
Terdapat kesenjangan antara program
kurikulum dan pelaksanaannya di sekolah
Terlalu padatnya isi kurikulum yang
harus diajarkan hampir di setiap jenjang.
Pelaksanaan Pendidikan Sejarah
Perjuangan Bangsa (PSPB) sebagai bidang pendidikan yang berdiri sendiri mulai
dari tingkat kanak-kanak sampai sekolah menengah tingkat atas termasuk
Pendidikan Luar Sekolah.
Pengadaan program studi baru (seperti
di SMA) untuk memenuhi kebutuhan perkembangan lapangan kerja.
Atas dasar perkembangan itu maka menjelang
tahun 1983 antara kebutuhan atau tuntutan masyarakat dan ilmu
pengetahuan/teknologi terhadap pendidikan dalam kurikulum 1975 dianggap tidak
sesuai lagi, oleh karena itu diperlukan perubahan kurikulum. Kurikulum 1984
tampil sebagai perbaikan atau revisi terhadap kurikulum 1975. Kurikulum 1984
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Berorientasi kepada tujuan
instruksional. Didasari oleh pandangan bahwa pemberian pengalaman belajar
kepada siswa dalam waktu belajar yang sangat terbatas di sekolah harus
benar-benar fungsional dan efektif. Oleh karena itu, sebelum memilih atau
menentukan bahan ajar, yang pertama harus dirumuskan adalah tujuan apa yang
harus dicapai siswa.
Pendekatan pengajarannya berpusat
pada anak didik melalui cara belajar siswa aktif (CBSA). CBSA adalah pendekatan
pengajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif terlibat secara
fisik, mental, intelektual, dan emosional dengan harapan siswa memperoleh
pengalaman belajar secara maksimal, baik dalam ranah kognitif, afektif, maupun
psikomotor.
Materi pelajaran dikemas dengan
nenggunakan pendekatan spiral. Spiral adalah pendekatan yang digunakan dalam
pengemasan bahan ajar berdasarkan kedalaman dan keluasan materi pelajaran.
Semakin tinggi kelas dan jenjang sekolah, semakin dalam dan luas materi
pelajaran yang diberikan.
Menanamkan pengertian terlebih
dahulu sebelum diberikan latihan. Konsep-konsep yang dipelajari siswa harus
didasarkan kepada pengertian, baru kemudian diberikan latihan setelah mengerti.
Untuk menunjang pengertian alat peraga sebagai media digunakan untuk membantu
siswa memahami konsep yang dipelajarinya.
Materi disajikan berdasarkan
tingkat kesiapan atau kematangan siswa. Pemberian materi pelajaran berdasarkan
tingkat kematangan mental siswa dan penyajian pada jenjang sekolah dasar harus
melalui pendekatan konkret, semikonkret, semiabstrak, dan abstrak dengan
menggunakan pendekatan induktif dari contoh-contoh ke kesimpulan. Dari yang
mudah menuju ke sukar dan dari sederhana menuju ke kompleks.
Menggunakan pendekatan keterampilan
proses. Keterampilan proses adalah pendekatan belajat mengajar yang memberi
tekanan kepada proses pembentukkan keterampilan memperoleh pengetahuan dan
mengkomunikasikan perolehannya. Pendekatan keterampilan proses diupayakan
dilakukan secara efektif dan efesien dalam mencapai tujuan pelajaran.
d. Kurikulum
1994
Pada kurikulum sebelumnya, yaitu kurikulum
1984, proses pembelajaran menekankan pada pola pengajaran yang berorientasi
pada teori belajar mengajar dengan kurang memperhatikan muatan (isi) pelajaran.
Hal ini terjadi karena berkesesuaian suasan pendidikan di LPTK (lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan) pun lebih mengutamakan teori tentang proses
belajar mengajar. Akibatnya, pada saat itu dibentuklah Tim Basic Science yang
salah satu tugasnya ikut mengembangkan kurikulum di sekolah. Tim ini memandang
bahwa materi (isi) pelajaran harus diberikan cukup banyak kepada siswa, sehingga
siswa selesai mengikuti pelajaran pada periode tertentu akan mendapatkan materi
pelajaran yang cukup banyak.
Kurikulum 1994 dibuat sebagai
penyempurnaan kurikulum 1984 dan dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang no. 2
tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini berdampak pada sistem
pembagian waktu pelajaran, yaitu dengan mengubah dari sistem semester ke sistem
caturwulan. Dengan sistem caturwulan yang pembagiannya dalam satu tahun menjadi
tiga tahap diharapkan dapat memberi kesempatan bagi siswa untuk dapat menerima
materi pelajaran cukup banyak.
Terdapat ciri-ciri yang menonjol dari
pemberlakuan kurikulum 1994, di antaranya sebagai berikut.
Pembagian tahapan pelajaran di
sekolah dengan sistem caturwulan
Pembelajaran di sekolah lebih
menekankan materi pelajaran yang cukup padat (berorientasi kepada materi
pelajaran/isi)
Kurikulum 1994 bersifat populis,
yaitu yang memberlakukan satu sistem kurikulum untuk semua siswa di seluruh
Indonesia. Kurikulum ini bersifat kurikulum inti sehingga daerah yang khusus
dapat mengembangkan pengajaran sendiri disesuaikan dengan lingkungan dan
kebutuhan masyarakat sekitar.
Dalam pelaksanaan kegiatan, guru
hendaknya memilih dan menggunakan strategi yang melibatkan siswa aktif dalam
belajar, baik secara mental, fisik, dan sosial. Dalam mengaktifkan siswa guru
dapat memberikan bentuk soal yang mengarah kepada jawaban konvergen, divergen
(terbuka, dimungkinkan lebih dari satu jawaban), dan penyelidikan.
Dalam pengajaran suatu mata
pelajaran hendaknya disesuaikan dengan kekhasan konsep/pokok bahasan dan
perkembangan berpikir siswa, sehingga diharapkan akan terdapat keserasian
antara pengajaran yang menekankan pada pemahaman konsep dan pengajaran yang menekankan
keterampilan menyelesaikan soal dan pemecahan masalah.
Pengajaran dari hal yang konkrit ke
hal yang abstrak, dari hal yang mudah ke hal yang sulit, dan dari hal yang
sederhana ke hal yang komplek.
Pengulangan-pengulangan materi yang
dianggap sulit perlu dilakukan untuk pemantapan pemahaman siswa.
Selama dilaksanakannya kurikulum 1994
muncul beberapa permasalahan, terutama sebagai akibat dari kecenderungan kepada
pendekatan penguasaan materi (content oriented), di antaranya sebagai
berikut.
Beban belajar siswa terlalu berat
karena banyaknya mata pelajaran dan banyaknya materi/substansi setiap mata
pelajaran
Materi pelajaran dianggap terlalu
sukar karena kurang relevan dengan tingkat perkembangan berpikir siswa, dan
kurang bermakna karena kurang terkait dengan aplikasi kehidupan sehari-hari.
Permasalahan di atas terasa saat
berlangsungnya pelaksanaan kurikulum 1994. Hal ini mendorong para pembuat
kebijakan untuk menyempurnakan kurikulum tersebut. Salah satu upaya
penyempurnaan itu diberlakukannya Suplemen Kurikulum 1994. Penyempurnaan
tersebut dilakukan dengan tetap mempertimbangkan prinsip penyempurnaan
kurikulum, yaitu
Penyempurnaan kurikulum secara
terus menerus sebagai upaya menyesuaikan kurikulum dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta tuntutan kebutuhan masyarakat.
Penyempurnaan kurikulum dilakukan
untuk mendapatkan proporsi yang tepat antara tujuan yang ingin dicapai dengan
beban belajar, potensi siswa, dan keadaan lingkungan serta sarana pendukungnya.
Penyempurnaan kurikulum dilakukan
untuk memperoleh kebenaran substansi materi pelajaran dan kesesuaian dengan
tingkat perkembangan siswa.
Penyempurnaan kurikulum
mempertimbangkan berbagai aspek terkait, seperti tujuan materi, pembelajaran,
evaluasi, dan sarana/prasarana termasuk buku pelajaran.
Penyempurnaan kurikulum tidak
mempersulit guru dalam mengimplementasikannya dan tetap dapat menggunakan buku
pelajaran dan sarana prasarana pendidikan lainnya yang tersedia di sekolah.
Penyempurnaan kurikulum 1994 di pendidikan
dasar dan menengah dilaksanakan bertahap, yaitu tahap penyempurnaan jangka
pendek dan penyempurnaan jangka panjang.
e. Kurikulum
Berbasis Kompetensi – Versi Tahun 2002 dan 2004
Usaha pemerintah maupun pihak swasta dalam
rangka meningkatkan mutu pendidikan terutama meningkatkan hasil belajar siswa
dalam berbagai mata pelajaran terus menerus dilakukan, seperti penyempurnaan
kurikulum, materi pelajaran, dan proses pembelajaran. Hal ini sesuai dengan
yang dikemukakan oleh Soejadi (1994:36), khususnya dalam mata pelajaran
matematika mengatakan bahwa kegiatan pembelajaran matematika di jenjang
persekolahan merupakan suatu kegiatan yang harus dikaji terus menerus dan jika
perlu diperbaharui agar dapat sesuai dengan kemampuan murid serta tuntutan
lingkungan.
Implementasi pendidikan di sekolah mengacu
pada seperangkat kurikulum. Salah satu bentuk inovasi yang dikembangkan
pemerintah guna meningkatkan mutu pendidikan adalah melakukan inovasi di bidang
kurikulum. Kurikulum 1994 perlu disempurnakan lagai sebagai respon terhadap perubahan
struktural dalam pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralistik sebagai
konsekuensi logis dilaksanakannya UU No. 22 dan 25 tahun 1999 tentang Otonomi
Daerah.
Kurikukum yang dikembangkan saat ini
diberi nama Kurikulum Berbasis Kompetensi. Pendidikan berbasis
kompetensi menitikberatkan pada pengembangan kemampuan untuk melakukan
(kompetensi) tugas-tugas tertentu sesuai dengan standar performance
yang telah ditetapkan. Competency Based Education is education geared
toward preparing indivisuals to perform identified competencies (Scharg
dalam Hamalik, 2000: 89). Hal ini mengandung arti bahwa pendidikan mengacu pada
upaya penyiapan individu yang mampu melakukan perangkat kompetensi yang telah
ditentukan. Implikasinya adalah perlu dikembangkan suatu kurikulum berbasis
kompetensi sebagai pedoman pembelajaran.
Sejalan dengan visi pendidikan yang
mengarahkan pada dua pengembangan, yaitu untuk memenuhi kebutuhan masa kini dan
kebutuhan masa datang, maka pendidikan di sekolah dititipi seperangkat misi dalam
bentuk paket-paket kompetensi.
Kompetensi merupakan pengetahuan,
keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir
dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus
menerus dapat memungkinkan seseorang untuk menjadi kompeten, dalam arti
memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar untuk melakukan
sesuatu (Puskur, 2002a). Dasar pemikiran untuk menggunakan konsep kompetensi
dalam kurikulum adalah sebagai berikut.
(1) Kompetensi
berkenaan dengan kemampuan siswa melakukan sesuatu dalam berbagai konteks.
(2) Kompetensi
menjelaskan pengalaman belajar yang dilalui siswa untuk menjadi kompeten.
(3) Kompeten
merupakan hasil belajar (learning outcomes) yang menjelaskan hal-hal
yang dilakukan siswa setelah melalui proses pembelajaran.
(4) Kehandalan
kemampuan siswa melakukan sesuatu harus didefinisikan secara jelas dan luas
dalam suatu standar yang dapat dicapai melalui kinerja yang dapat diukur.
(Puskur,
2002a).
Kurikulum Berbasis Kompetensi
merupakan perangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar
yang harus dicapai siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan
pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah.
Kurikulum Berbasis Kompetensi berorientasi pada: (1) hasil dan dampak yang
diharapkan muncul pada diri peserta didik melalui serangkaian pengalaman
belajar yang bermakna, dan (2) keberagaman yang dapat dimanifestasikan sesuai
dengan kebutuhannya (Puskur, 2002a).
Rumusan kompetensi dalam Kurikulum
Berbasis Kompetensi merupakan pernyataan apa yang diharapkan dapat
diketahui, disikapi, atau dilakukan siswa dalam setiap tingkatan kelas dan
sekolah dan sekaligus menggambarkan kemajuan siswa yang dicapai secara bertahap
dan berkelanjutan untuk menjadi kompeten.
Suatu program pendidikan berbasis
kompetensi harus mengandung tiga unsur pokok, yaitu:
(1) pemilihan
kompetensi yang sesuai;
(2) spesifikasi
indikator-indikator evaluasi untuk menentukan keberhasilan pencapaian
kompetensi;
(3) pengembangan
sistem pembelajaran.
Kurikulum Berbasis Kompetensi memiliki
ciri-ciri sebagai berikut:
Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik
secara individual maupun klasikal.
Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes)
dan keberagaman.
Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan
dan metode yang bervariasi.
Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber
belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.
Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar
dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
(Puskur, 2002a).
Struktur kompetensi dalam Kurikulum
Berbasis Kompetensi dalam suatu mata pelajaran memuat rincian kompetensi
(kemampuan) dasar mata pelajaran itu dan sikap yang diharapkan dimiliki siswa.
Mari kita lihat contohnya dalam mata pelajaran matematika, Kompetensi dasar
matematika merupakan pernyataan
minimal atau memadai tentang pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai
yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak setelah siswa
menyelesaikan suatu aspek atau subaspek mata pelajaran matematika. (Puskur,
2002b). Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Matematika merupakan gambaran
kompetensi yang seharusnya dipahami, diketahui, dan dilakukan siswa sebagai
hasil pembelajaran mata pelajaran matematika. Kompetensi dasar tersebut
dirumuskan untuk mencapai keterampilan (kecakapan) matematika yang mencakup kemampuan
penalaran, komunikasi, pemecahan masalah, dan memiliki sikap menghargai
kegunaan matematika.
Struktur kompetensi dasar Kurikulum
Berbasis Kompetensi ini dirinci dalam komponen aspek, kelas
dan semester. Keterampilan dan pengetahuan dalam setiap mata pelajaran, disusun
dan dibagi menurut aspek dari mata pelajaran tersebut.
Pernyataan hasil belajar ditetapkan untuk
setiap aspek rumpun pelajaran pada setiap level. Perumusan hasil belajar
adalah untuk menjawab pertanyaan, “Apa yang harus siswa ketahui dan mampu
lakukan sebagai hasil belajar mereka pada level ini?”. Hasil belajar
mencerminkan keluasan, kedalaman, dan kompleksitas kurikulum dinyatakan dengan
kata kerja yang dapat diukur dengan berbagai teknik penilaian.
Setiap hasil belajar memiliki seperangkat
indikator. Perumusan indikator adalah untuk menjawab
pertanyaan, “Bagaimana kita mengetahui bahwa siswa telah mencapai hasil belajar
yang diharapkan?”. Guru akan menggunakan indikator sebagai dasar untuk menilai
apakah siswa telah mencapai hasil belajar seperti yang diharapkan. Indikator
bukan berarti dirumuskan dengan rentang yang sempit, yaitu tidak dimaksudkan
untuk membatasi berbagai aktivitas pembelajaran siswa, juga tidak dimaksudkan
untuk menentukan bagaimana guru melakukan penilaian. Misalkan, jika indikator
menyatakan bahwa siswa mampu menjelaskan konsep atau gagasan tertentu, maka ini
dapat ditunjukkan dengan kegiatan menulis, presentasi, atau melalui kinerja
atau melakukan tugas lainnya.
f. Kurikulum
Berbasis Kompetensi – Versi KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)
Pendidikan nasional harus mampu menjamin
pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu dan relevansi serta
efisiensi manajemen pendidikan. Pemerataan kesempatan pendidikan diwujudkan
dalam program wajib belajar 9 tahun. Peningkatan mutu pendidikan diarahkan
untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia seutuhnya melalui olahhati,
olahpikir, olahrasa dan olahraga agar memiliki daya saing dalam menghadapi
tantangan global. Peningkatan relevansi pendidikan dimaksudkan untuk
menghasilkan lulusan yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan berbasis potensi
sumber daya alam Indonesia. Peningkatan efisiensi manajemen pendidikan
dilakukan melalui penerapan manajemen berbasis sekolah dan pembaharuan pengelolaan
pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.
Implementasi Undang-Undang Nomor 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijabarkan ke dalam sejumlah peraturan
antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan. Peraturan Pemerintah ini memberikan arahan tentang perlunya disusun
dan dilaksanakan delapan standar nasional pendidikan, yaitu: (1)standar
isi, (2)standar proses, (3)standar kompetensi lulusan, (4)standar pendidik dan
tenaga kependidikan, (5)standar sarana dan prasarana, (6)standar pengelolaan,
standar pembiayaan, dan (7)standar penilaian pendidikan.
Kurikulum dipahami sebagai seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara
yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk
mencapai tujuan pendidikan tertentu, maka dengan terbitnya Peraturan Pemerintah
Nomor 19 Tahun 2005, pemerintah telah menggiring pelaku pendidikan untuk
mengimplementasikan kurikulum dalam bentuk kurikulum tingkat satuan pendidikan,
yaitu kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di setiap satuan
pendidikan.
Secara substansial, pemberlakuan (baca:
penamaan) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) lebih kepada
mengimplementasikan regulasi yang ada, yaitu PP No. 19/2005. Akan tetapi,
esensi isi dan arah pengembangan pembelajaran tetap masih bercirikan
tercapainya paket-paket kompetensi (dan bukan pada tuntas tidaknya sebuah subject
matter), yaitu:
Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik
secara individual maupun klasikal.
Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes)
dan keberagaman.
Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan
dan metode yang bervariasi.
Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber
belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.
Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar
dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
Terdapat perbedaan mendasar
dibandingkan dengan kurikulum berbasis kompetensi sebelumnya (versi 2002 dan
2004), bahwa sekolah diberi kewenangan penuh menyusun rencana pendidikannya
dengan mengacu pada standar-standar yang telah ditetapkan, mulai dari tujuan,
visi – misi, struktur dan muatan kurikulum, beban belajar, kalender pendidikan,
hingga pengembangan silabusnya.
(disebarluaskan juga oleh S Cipto A
dengan alamat http://kesadaransejarah.blogspot.com
dan oleh http://www.e-smartschool.com, serta oleh
http://alumni-xaverius.zai.web.id)
==================================================================
Prinsip Pengembangan Kurikulum
31 Januari 2008 Tinggalkan
komentar Go
to comments
1
0
Penilain Anda!
Oleh : Akhmad Sudrajat, M.Pd.
Pengembangan kurikulum adalah istilah yang
komprehensif, didalamnya mencakup: perencanaan, penerapan dan evaluasi.
Perencanaan kurikulum adalah langkah awal membangun kurikulum ketika pekerja
kurikulum membuat keputusan dan mengambil tindakan untuk menghasilkan
perencanaan yang akan digunakan oleh guru dan peserta didik. Penerapan
Kurikulum atau biasa disebut juga implementasi kurikulum berusaha mentransfer
perencanaan kurikulum ke dalam tindakan operasional. Evaluasi kurikulum
merupakan tahap akhir dari pengembangan kurikulum untuk menentukan seberapa
besar hasil-hasil pembelajaran, tingkat ketercapaian program-program yang telah
direncanakan, dan hasil-hasil kurikulum itu sendiri. Dalam pengembangan
kurikulum, tidak hanya melibatkan orang yang terkait langsung dengan dunia
pendidikan saja, namun di dalamnya melibatkan banyak orang, seperti : politikus,
pengusaha, orang tua peserta didik, serta unsur – unsur masyarakat lainnya yang
merasa berkepentingan dengan pendidikan.
Prinsip-prinsip
yang akan digunakan dalam kegiatan pengembangan kurikulum pada dasarnya
merupakan kaidah-kaidah atau hukum yang akan menjiwai suatu kurikulum. Dalam
pengembangan kurikulum, dapat menggunakan prinsip-prinsip yang telah berkembang
dalam kehidupan sehari-hari atau justru menciptakan sendiri prinsip-prinsip
baru. Oleh karena itu, dalam implementasi kurikulum di suatu lembaga pendidikan
sangat mungkin terjadi penggunaan prinsip-prinsip yang berbeda dengan kurikulum
yang digunakan di lembaga pendidikan lainnya, sehingga akan ditemukan banyak
sekali prinsip-prinsip yang digunakan dalam suatu pengembangan kurikulum. Dalam
hal ini, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengetengahkan prinsip-prinsip
pengembangan kurikulum yang dibagi ke dalam dua kelompok : (1) prinsip –
prinsip umum : relevansi, fleksibilitas, kontinuitas, praktis, dan efektivitas;
(2) prinsip-prinsip khusus : prinsip berkenaan dengan tujuan pendidikan,
prinsip berkenaan dengan pemilihan isi pendidikan, prinsip berkenaan dengan
pemilihan proses belajar mengajar, prinsip berkenaan dengan pemilihan media dan
alat pelajaran, dan prinsip berkenaan dengan pemilihan kegiatan penilaian.
Sedangkan Asep Herry Hernawan dkk (2002) mengemukakan lima prinsip dalam
pengembangan kurikulum, yaitu :
- Prinsip relevansi; secara internal bahwa kurikulum memiliki relevansi di antara komponen-komponen kurikulum (tujuan, bahan, strategi, organisasi dan evaluasi). Sedangkan secara eksternal bahwa komponen-komponen tersebutmemiliki relevansi dengan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi (relevansi epistomologis), tuntutan dan potensi peserta didik (relevansi psikologis) serta tuntutan dan kebutuhan perkembangan masyarakat (relevansi sosilogis).
- Prinsip fleksibilitas; dalam pengembangan kurikulum mengusahakan agar yang dihasilkan memiliki sifat luwes, lentur dan fleksibel dalam pelaksanaannya, memungkinkan terjadinya penyesuaian-penyesuaian berdasarkan situasi dan kondisi tempat dan waktu yang selalu berkembang, serta kemampuan dan latar bekang peserta didik.
- Prinsip kontinuitas; yakni adanya kesinambungandalam kurikulum, baik secara vertikal, maupun secara horizontal. Pengalaman-pengalaman belajar yang disediakan kurikulum harus memperhatikan kesinambungan, baik yang di dalam tingkat kelas, antar jenjang pendidikan, maupun antara jenjang pendidikan dengan jenis pekerjaan.
- Prinsip efisiensi; yakni mengusahakan agar dalam pengembangan kurikulum dapat mendayagunakan waktu, biaya, dan sumber-sumber lain yang ada secara optimal, cermat dan tepat sehingga hasilnya memadai.
- Prinsip efektivitas; yakni mengusahakan agar kegiatan pengembangan kurikulum mencapai tujuan tanpa kegiatan yang mubazir, baik secara kualitas maupun kuantitas.
Terkait
dengan pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, terdapat sejumlah
prinsip-prinsip yang harus dipenuhi, yaitu :
- Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya. Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan.
- Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, dan jenjang serta jenis pendidikan, tanpa membedakan agama, suku, budaya dan adat istiadat, serta status sosial ekonomi dan gender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antarsubstansi.
- Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni berkembang secara dinamis, dan oleh karena itu semangat dan isi kurikulum mendorong peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan secara tepat perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
- Relevan dengan kebutuhan kehidupan. Pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan.
- Menyeluruh dan berkesinambungan. Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antarsemua jenjang pendidikan.
- Belajar sepanjang hayat. Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal dan informal, dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.
- Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah. Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kepentingan nasional dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan dengan motto Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemenuhan
prinsip-prinsip di atas itulah yang membedakan antara penerapan satu Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan dengan kurikulum sebelumnya, yang justru tampaknya
sering kali terabaikan. Karena prinsip-prinsip itu boleh dikatakan sebagai ruh
atau jiwanya kurikulum
Dalam
mensikapi suatu perubahan kurikulum, banyak orang lebih terfokus hanya pada
pemenuhan struktur kurikulum sebagai jasad dari kurikulum . Padahal jauh lebih
penting adalah perubahan kutural (perilaku) guna memenuhi prinsip-prinsip
khusus yang terkandung dalam pengembangan kurikulum.
Pengembangan kurikulum dapat dilakukan melalui dua pendekatan
yaitu : (1) pendekatan top-down the administrative model dan (2) the grass root
model.
1. The administrative model;
Model ini merupakan model pengembangan
kurikulum yang paling lama dan paling banyak digunakan. Gagasan pengembangan
kurikulum datang dari para administrator pendidikan dan menggunakan prosedur
administrasi. Dengan wewenang administrasinya, membentuk suatu Komisi atau Tim
Pengarah pengembangan kurikulum. Anggotanya, terdiri dari pejabat di bawahnya,
para ahli pendidikan, ahli kurikulum, ahli disiplin ilmu, dan para tokoh dari
dunia kerja dan perusahaan. Tugas tim ini adalah merumuskan konsep-konsep
dasar, landasan-landasan, kebijaksanaan dan strategi utama dalam pengembangan
kurikulum. Selanjutnya administrator membentuk Tim Kerja terdiri dari para ahli
pendidikan, ahli kurikulum, ahli disiplin ilmu dari perguruan tinggi, dan
guru-guru senior, yang bertugas menyusun kurikulum yang sesungguhnya yang lebih
operasional menjabarkan konsep-konsep dan kebijakan dasar yang telah digariskan
oleh Tim pengarah, seperti merumuskan tujuan-tujuan yang lebih operasional,
memilih sekuens materi, memilih strategi pembelajaran dan evaluasi, serta
menyusun pedoman-pedoman pelaksanaan kurikulum bagi guru-guru. Setelah Tim
Kerja selesai melaksanakan tugasnya, hasilnya dikaji ulang oleh Tim Pengarah
serta para ahli lain yang berwenang atau pejabat yang kompeten.
Setelah mendapatkan beberapa penyempurnaan dan dinilai
telah cukup baik, administrator pemberi tugas menetapkan berlakunya kurikulum
tersebut. Karena datangnya dari atas, maka model ini disebut juga model Top –
Down. Dalam pelaksanaannya, diperlukan monitoring, pengawasan dan bimbingan.
Setelah berjalan beberapa saat perlu dilakukan evaluasi.
2. The
grass root model;
Model pengembangan ini merupakan lawan dari model
pertama. Inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum, bukan datang dari atas
tetapi dari bawah, yaitu guru-guru atau sekolah. Model pengembangan kurikulum
yang pertama, digunakan dalam sistem pengelolaan pendidikan/kurikulum yang
bersifat sentralisasi, sedangkan model
grass roots akan berkembang dalam sistem pendidikan yang bersifat
desentralisasi. Dalam model pengembangan yang bersifat grass roots seorang
guru, sekelompok guru atau keseluruhan guru di suatu sekolah mengadakan upaya
pengembangan kurikulum. Pengembangan atau penyempurnaan ini dapat berkenaan
dengan suatu komponen kurikulum, satu atau beberapa bidang studi ataupun seluruh
bidang studi dan seluruh komponen kurikulum. Apabila kondisinya telah
memungkinkan, baik dilihat dari kemampuan guru-guru, fasilitas biaya maupun
bahan-bahan kepustakaan, pengembangan kurikulum model grass root tampaknya akan
lebih baik.
Hal itu didasarkan atas pertimbangan bahwa guru adalah
perencana, pelaksana, dan juga penyempurna dari pengajaran di kelasnya. Dialah
yang paling tahu kebutuhan kelasnya, oleh karena itu dialah yang paling
kompeten menyusun kurikulum bagi kelasnya.
Pengembangan kurikulum yang bersifat grass roots,
mungkin hanya berlaku untuk bidang studi tertentu atau sekolah tertentu, tetapi
mungkin pula dapat digunakan untuk seluruh bidang studi pada sekolah atau
daerah lain. Pengembangan kurikulum yang bersifat desentralistik dengan model
grass rootsnya, memungkinkan terjadinya kompetisi dalam meningkatkan mutu dan
sistem pendidikan, yang pada gilirannya akan melahirkan manusia-manusia yang
lebih mandiri dan kreatif.
Terkait dengan pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan, tampaknya lebih cenderung dilakukan dengan menggunakan pendekatan the grass-root model.
Kendati demikian, agar pengembangan kurikulum dapat berjalan efektif tentunya
harus ditopang oleh kesiapan sumber daya, terutama sumber daya manusia yang
tersedia di sekolah.
Sumber :
Nana Syaodih Sukmadinata. 1997. Pengembangan Kurikum;
Teori dan Praktek. Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya.
Tim Pengembang MKDK Kurikulum dan Pembelajaran. 2002.
Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung : Jurusan Kurikulum dan Teknologi
Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan UPI.