BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidkan dan kematangan jiwa terhadap nilai agama pada anak sangat di
perlukan dalam era globalisasi kini. Tantangan berat akan di hadapi mereka di
masa depan-nya. Oleh karena itu penting buat kita para pendidik (Orang tua dan
guru) membekali mereka pendidikan formal dan nilai-nilai Agama serta
nilai-nilai normative yang berlaku di masyarakat. Menurut Ustadz Yusuf
Qordowi, ilmu pengetahuan diklasifikasikan menjadi 2 yang utama, yaitu :
Fardu ’ain, Segala
macam ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan pembinaan watak seseorang
berkaitan hubungan-nya denagn Allah SWT dan manusia. Misalnya : aqidah, sholat,
shaum, do’a. dll.
Fardu kifayah,
Berbagai macam ilmu pengetahuan yang di butuhkan dalam kehidupan dan membangun
umat. Misalnya : ekonomi,politik, kesehatan dll.
Pada saat kita sulit memcari figur
pendidik yang baik, sehingga terjadi degradasi moral, meningkat nya perbuatan
amoral dan lain sebagainya. Maka salah satu cara untuk mempersiapakan anak
–anak kita adalah dengan memfungsikan kembali rumah sebagai madrasah al’ula,
keluarga kita harus jadikan kembali sebagai tempat melahirkan dan mencetak
pribadi muslim yang memiliki karakter baik. Tugas orang tua yang pertama pada
balita adalah, memberikan pedidikan iman.
B. Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mempelajari tentang
Pengalaman dan Aktualisasi Nilai Agama Pada Orang Dewasa.
2. Untuk memberikan
pengetahuan kepada para pembaca tentang Pengalaman dan Aktualisasi Nilai Agama
Pada Orang Dewasa.
3. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Jiwa
Belajar Agama.
C. Rumusan Masalah
Dengan segala keterbatasan tim penulis,
maka dalam makalah kami tidak begitu rinci dalam menjelaskan tentang Pengalaman
dan Aktualisasi Nilai Agama Pada Orang Dewasa. Adapun yang kami jelaskan di
sini rumusan masalahnya sebagai berikut:
- Bagaimanakah Pengalaman Nilai Agama Pada Orang Dewasa.
- Bagaimana Aktualisasi Nilai Agama Pada Orang Dewasa.
- Bagaimana Sebaiknya kita Menagaktualisasikan Nilai-Nilai Agama pada diri kita semua.
D. Sistematika Penulisan
Makalah ini disusun dengna sistematika
pembahasan yang meliputi: BAB I : PENDAHULUAN Menyajikan latar belakang
masalah, tujuan penulisan, rumusan masalah dan sistematika penulisan; BAB II :
PEMBAHASAN Membahas tentang Pengalaman dan Aktualisasi Nilai Agama Pada Orang
Dewasa.. BAB II : PENUTUP
menyajikan kesimpulan dan saran.
BAB II
PEMBAHASAN
PENGALAMAN DAN AKTUALISASI NILAI AGAMA
PADA ORANG DEWASA
A.
PENGALAMAN NILAI AGAMA PADA ORANG
DEWASA
Ada tiga hirarki pengalaman beragama Islam seseorang.
Pertama, tingkatan syariah. Syariah berarti aturan atau undang-undang,
yakni aturan yang dibuat oleh pembuat aturan (Allah dan RasulNya) untuk
mengatur kehidupan orang-orang mukallaf baik hubungannya dengan Allah ( habl
min Allah ) maupun hubungannya dengan sesama manusia (habl min al-Nas
).
Dataran syariat
berarti kualitas amalan lahir formal yang ditetapkan dalam ajaran agama melalui
al-Qur`an dan Sunnah. Amalan tersebut dijadikan beban ( taklif ) yang
harus dilaksanakan, sehingga amalan lebih didorong sebagai penggugur kewajiban.
Dalam dataran ini, pengamalan agama bersifat top dawn yakni bukan sebagai
kebutuhan tapi sebagai tuntutan dari atas ( syari‘ ) ke bawah ( mukallaf
). Tuntutan itu dapat berupa
tuntutan untuk dilaksanakan atau tuntutan untuk ditinggalkan. Seseorang dalam
dataran ini, pengamalan agamanya karena didorong oleh perintah, bukan semata –
mata kebutuhan. Hal ini sesuai dengan pendapat al-Qusyairi dalam kitab al-Risalah
al-Qusyairiyyah
الشريعة أمر بالتزام العبودية والحقيقة
مشاهدة الربوبية. فالشريعة جاءت بتكليف الخالق، والحقيقة إنباء عن تصريف
الحق.فالشريعة أن تعبده،والحقيقة أن تشهده.والشريعة قيام بما أمر، والحقيقة شهود
لما قضى وقدر، وأخفى وأظهر.
“Syariah adalah
perintah untuk memenuhi kewajiban ibadah dan haklikat adalah penyaksian
ketuhanan, Syariat datang dengan membawa beban Tuhan yang maha pencipta
saedangkan hakikatmenceritakan tentang tindakan Tuhan Syariah adalah engkau
mengabdi pada Allah sedangkan hakikat adalah engkau menyaksikan Allah, Syariah
adalah melaksanakan perintah sedangkan hakikat menyaksikan apa yang telah
diputuskan dan ditentukan, yang disembunyikan dan yang ditampakkan”
Kedua,
tingkat tarikat yaitu kesadaran pengamalan ajaran agama sebagai jalan atau alat
untuk mengarahkan jiwa dan moral. Dalam dataran ini, seseorang menyadari bahwa
ajaran agama yang ia laksanakan bukan semata-mata sebagi tujuan tapi sebagai
alat dan metode untuk meningkatkan moral. Puasa Ramadlan misalnya, tidak hanya
dipandang sebagai kuwajiban tapi juga disadari sebagai media untuk mencapai
tujuan yang lebih tinggi yaitu sikap bertaqwa. Demikian juga ,tuntutan-tuntutan
syariah lainnya disadari sebagai proses untuk mencapai tujuan moral.
Ketiga, tingkatan hakikat yang berarti realitas, senyatanya, dan sebenarnya.
Dalam tasawuf yang real dan yang sebenarnya adalah Allah yang maha benar atau
real ( al-Haq ). Dengan demikian tingkat hakikat berarti dimana seseorang
telah menyaksikan Allah s.wt. Pemahaman lain dari hakikat adalah bahwa hakikat
merupakan inti dari setiap tuntutan syariat.Berbeda dengan syariat yang
menganggap perintah sebagai tuntutan dan beban maka dalam dataran hakikat
perintah tidak lagi menjadi tuntutan dan beban tapi berubah menjadi kebutuhan.
Itulah Aba Ali al-Daqaq yang dikutip oleh al-Quyairy mengatakan;
سمعت
الأستاذ أبا علي الدقاق، رحمه الله، يقول: قوله: إياك نعبد حفظ للشريعة وإياك
نستعين إقرار بالحقيقة.
“Saya mendengar al-Ustadz Abu Ali al-Daqaq rahimahu
Allah berkata” firman Allah iyyaka na’budu (hanya padamu aku menyembah) adalah
menjaga syariat sedangkan waiyyaka nastain (dan hanya padamu kami meinta
pertolongan) adalah sebuah pengakuan hakikat.”
B.
AKTUALISASI NILAI AGAMA PADA
ORANG DEWASA
Benarkah, Islam kini cuma
sebatas simbol semata. Faktanya, di Indonesia – yang mayoritas muslim, nilai
ajaran Islam tak lagi bisa berdiri tegak. Korupsi merata di semua lini
kehidupan. Kriminalitas merajalela. Kenakalan remaja kian mencuat. Segala ragam
rupa tindak maksiat pun, tak lagi tabu di masyarakat.
Menurut Prof. Dr.
Ahmad Zahro, MA,
ini adalah buah pemahaman agama yang tak dimanifestasikan dalam kehidupan
sehari-hari. ”Kata paham adalah wilayah intelektualitas, bukan spiritualitas,”
tukasnya. Orang yang paham, jelasnya, bukan berarti mesti menghayati, apalagi
mengamalkan. ”Paham itu, hanya sekedar tahu. Yang pasti, orang makin pintar dan
paham, makin bisa berbuat banyak. Tergantung apakah akan digunakan untuk
berbuat hal yang positif atau negatif,” tandasnya.
Selama penanaman pohon nilai agama masih belum masuk ke dalam
relung hati dan diamalkan secara maksimal, tegasnya, maka buah ajaran agama pun
akan sulit dipetik. Semua agama, ujar Direktur Program Pascasarjana IAIN Sunan
Ampel Surabaya ini menjelaskan, selalu mengajarkan kebaikan. Semua agama
melarang korupsi, maksiat, serta perilaku menyimpang lainnya. ”Tapi, ketika
agama hanya menjadi sebuah label, sebuah simbol dan hanya menjadi kulit luar,
maka sebaik apa pun ajaran itu, tidak akan ada gunanya. Bahkan kadang-kadang
disalahgunakan,” papar alumnus Fakultas Adab Universitas al-Azhar Kairo Mesir
ini menegaskan.
Walau hanya sekedar ajaran moral, terangnya mencontohkan,
namun jika dihayati dan diamalkan bagi orang yang percaya, maka akan berdampak
pada nilai-nilai ruhaniyah yang berefek pada tindakan-tindakan jasmaniyah. ”Ini
sebenarnya soal internalisasi ajaran, bukan sekedar simbol ajaran, deklarasi ajaran,
ataupun formalisasi ajaran,” tukas pria kelahiran di Nganjuk 7 Juni 1955 itu.
Maka, agar pengajaran agama bisa menginternal, paparnya,
penanaman nilai-nilai agama harus bersamaan dengan moral agama. ”Semisal ajaran
shalat. Kita harus bisa menggali nilai-nilai yang terkandung dalam shalat,
sehingga kita benar-benar bisa mencapai tujuan shalat, yaitu tanha ’anil
fakhsyai wal munkar,” tuturnya.
Penciptaan
lingkungan menjadi sangat penting di sini, agar nilai ajaran itu bisa tertanam
dan mudah terlaksana. Sebab, faktor pendidikan yang terpenting, menurutnya,
sebenarnya adalah faktor lingkungan. Baik lingkungan keluarga, sekolah maupun
masyarakat. ”Setelah itu, baru faktor pendidik dan potensi anak didik itu
sendiri. Selain itu, hanyalah sebagai penunjang,” tukasnya.
Menurutnya, ada perbedaan mencolok antara pendidikan zaman
lampau dengan sekarang. Hal itu terletak pada faktor keteladanan. ”Dulu,
interaksi guru murid lebih personal. Sekarang sudah bergeser kepada lembaga
atau institusi. Sebab saat ini, satu guru menangani banyak murid dengan
perilaku yang beragam,” paparnya.
Di zamannya dulu, Ustadz Zahro – demikian ia karib disapa –
biasa belajar pada keteladanan perilaku guru ngajinya, selain belajar kitab
tentunya. ”Dengan meneladani sifat dan sikap guru yang baik, akan memudahkan
kita belajar sesuatu. Rasulullah sukses berdakwah pun, karena uswah beliau,”
ucapnya.
Maka, peringatan maulid Nabi Muhammad Saw., lanjutnya,
merupakan moment penting untuk membangkitkan memori keteladanan Rasul. ”Nama
peringatan itu sebenarnya kan
memiliki arti tegas, yaitu untuk memperingatkan kita,” ujarnya. Di dalamnya ada
ceramah dan pencerahan yang bisa menambah wawasan dan membuka memori
keteladanan terhadap Rasulullah. Sebab saat itu, sejarah Rasul (diba’
atau barjanji) dibacakan. ”Sayangnya hanya dibaca sebagai wirid.
Memang tidak salah membaca diba’ atau manakib. Tapi ya.. seyogyanya bisa
diterangkan makna dan nilai-nilainya,” tukasnya.
Semua pelaksanaan peringatan maulid ini, terlepas dari pro
dan kontra atas hukum memperingati maulid nabi. Sebab menurutnya, hal ini lebih
merupakan hasil ijtima’ ulama dalam hubungan interaksi sosial.
Inti keteladanan Rasulullah itu, papar penulis buku ‘Tradisi
NU; Lajnah Bahtsul Masail 1926-1999’ itu, ada tiga macam. Pertama,
adalah Uswah Ta’abbudiyah (ritual). Keteladanan ritual ini harus
persis sebagaimana yang dicontohkan nabi. Prinsipnya, ibadah ritual harus
sesuai dengan al-Qur’an dan Al-Hadits. ”Jadi tidak boleh mengarang, walaupun
tuntunan itu ada bermacam-macam,” ucapnya. ”Semisal shalat Dhuhur harus
dikerjakan 4 rakaat dan cara shalat pun demikian. Tapi doanya, ada beberapa
macam,” tambah Rektor Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum (UNIPDU) Jombang
ini.
Kedua, Uswah Ijtima’iyah (keteladanan
sosial), yaitu keteladanan nabi yang terkait dengan kemasyarakatan. Semisal,
bagaimana model kepemimpinan nabi dalam mengatur negara dan umat. Saat itu,
terangnya, nabi masih belum punya mentri. Model pemerintahannya masih
sederhana. ”Kalau mau ditiru, ya silakan saja. Kalau mau dikembangkan, juga
tidak apa-apa. Intinya yang kita ambil dari keteladanan Rasulullah dalam kaitan
ini, adalah ide besar kepemimpinan Rasulullah,” terangnya.
Ketiga, Uswah Tsaqafiyah
(Keteladanan Kultural). Ini sifatnya lokal. ”Nabi itu orang Arab. Kita boleh
saja meniru budaya Arab dan boleh tidak,” tandasnya. Semisal dalam hal
berpakaian. Begitu juga dengan memelihara jenggot. Menurutnya, semua hal
itu adalah produk budaya. ”Lantas, kenapa kita harus saling ngotot
memperdebatkannya,” selorohnya.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Ilmu jiwa agama adl suatu bidang disiplin ilmu yg berusaha
mengeksplorasi perasaan dan pengalaman dalam kehidupan seseorang. Penelitian
itu didasarkan atas dua hal yaitu sejauh mana kesadaran beragama dan pengalaman
beragama . Apabila standar itu kita coba terapkan pada seseorang yg secara
spesifik beragama Islam maka akan kita lihat beberapa standar diantaranya
Al-Qur’an dan As-Sunnah dan penjelasan para ulama.
Pada masa balita
yang sangat punya peranan penting “ Kunci “ terhadap aktualisasi nilai – nilai
agama terhadap agama adalah orang tua, terutama ibu. Satu perbuatan baik
dari orang tua yang sholeh dan sholehah, sudah mewakili nasehat yang banyak. Sedagnkan
perananan yang paling penting bagi orang dewasa adalah dirinya sendiri.
B.
SARAN
Dengan adanya makalah tentang Pengalaman
dan Aktualisasi Nilai Agama Bagi Orang Dewasa ini semoga bagi yang membaca
makalah ini mendapatkan sedikitnya tentang bagaiamana sebaiknya kita
mengaktualisasikan nilai-nilai agama yang kita anut yakni Islam dalam kehidupan
sehari-hari tidak hanya sebagai simbol semata.
REFERENSI
Prof. DR. Zakiah Derajat, Ilmu
Jiwa Agama. Bulan Bintang : Jakarta
cet. 15 1996.
Muhamad Bisri, Memulai dan Tumbuh di Dalam Islam. Progres :
Jakarta 2003.
Prof. Dr. Muhaimin, MA, Kawasan dan Wawasan Studi Islam.
Prenada Media : Jakarta 2007.